Makan Siang Gratis: Janji Manis dengan Beban Berat
Pasangan calon Prabowo-Gibran telah mengumumkan program makan siang gratis sebagai solusi mujarab untuk persoalan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi Indonesia. Namun, di balik janji manis ini, terdapat tantangan besar dalam aspek implementasi dan pembiayaan.
Skala dan Tantangan Implementasi
Data penerima program makan siang gratis sudah disiapkan dan sangat masif, meliputi 82,9 juta jiwa. Rinciannya termasuk 30 juta anak usia dini, 24 juta murid SD, 9,8 juta murid SMP, 10,2 juta murid SMK dan SMA, 4,3 juta santri pesantren, dan 4,4 juta ibu hamil. Angka yang luar biasa besar ini memunculkan pertanyaan krusial: dari mana sumber dana untuk membiayai program sebesar itu?
Estimasi Pembiayaan
Untuk tahun pertama, pasangan Prabowo-Gibran membutuhkan 100 hingga 120 triliun per tahun. Sedangkan jika program ini dijalankan secara penuh, anggaran yang diperlukan adalah 450 triliun rupiah per tahun. Sebagai perbandingan, APBN 2024 adalah 3.325 triliun rupiah dengan pendapatan negara sebesar 2.802 triliun rupiah. Artinya, makan siang gratis ini akan memakan 5,6% dari APBN. Anggaran pendidikan tahun 2024 adalah 660 triliun rupiah, dan anggaran kesehatan adalah 186 triliun rupiah. Maka, anggaran makan siang gratis ini lebih dari dua kali lipat anggaran kesehatan.
Sumber Pembiayaan dan Risiko
Mungkin salah satu solusi adalah menaikkan pajak, namun ini sangat berisiko karena membebani sebagian rakyat yang produktif. Alternatif lain adalah memotong anggaran sektor lain seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Ini seperti buah simalakama, karena janji-janji pasangan ini juga mencakup peningkatan anggaran untuk pendidikan dan kesehatan. Dengan defisit APBN yang semakin besar, menambah utang bukan solusi yang bijak karena utang kita sudah cukup besar.
Kritik terhadap Program Makan Siang Gratis
1. Sumber Pendanaan yang Sempit: Dengan ruang fiskal yang sempit, keberlanjutan program ini sangat diragukan.
2. Ketepatan Sasaran: Apakah program ini akan tepat sasaran dan efektivitasnya sebanding dengan usaha yang dikeluarkan?
3. Efektivitas Program: Apakah memberikan makan siang ini akan benar-benar memperbaiki gizi dan nutrisi anak-anak? Ada potensi pemborosan dan korupsi dalam implementasinya.
4. Opportunity Cost: Program ini bisa mengorbankan program-program lain yang mungkin lebih bermanfaat jika tetap dilaksanakan.
5. Keberlanjutan Program: Infrastruktur untuk program ini harus disiapkan, dan jika keberlanjutannya diragukan, investasi untuk melaksanakan program ini bisa menjadi mubazir.
Solusi Alternatif
Sebelum melangkah ke depan, ada baiknya kita mempertimbangkan solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan dalam mengatasi masalah gizi buruk, stunting, dan kemiskinan di Indonesia. Salah satu alternatif adalah memampukan rakyat untuk bisa membeli makanan yang lebih bergizi.
Demikian pembahasan kita tentang program makan siang gratis ini. Terima kasi.